Senin, 21 April 2008

lahan gambut yang terbakar

Setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi
asap yang menyesakkan. Polusi asap menjadi penyebab dari
sepertiga dari kerugian ekonomi total akibat kebakaran hutan pada
tahun 1997/98 yang mencapai 800 juta US$. Secara politis, polusi
asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah
menjadi isu yang sangat kontroversial.
Data-data dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari
polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari
kebakaran di lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14%
dari daratan Indonesia. Karena itu, mencegah terbakarnya lahanlahan
gambut tersebut akan sangat mengurangi polusi asap.
Pencegahan kebakaran menjadi semakin penting karena
pemadaman kebakaran di lahan gambut sangat problematis. Cara
terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan
cara mengkonservasi lahan tersebut dalam keadaan alaminya
karena (setelah terbakar) mereka tidak dapat direhabilitasi dan
kondisi alaminya yang ‘tahan api’ tidak dapat diciptakan kembali.
Tulisan ini akan meninjau masalah api/kebakaran dan
pengelolaannya di lahan-lahan gambut untuk mengurangi polusi
asap dan sekaligus untuk mengkonservasi lahan-lahan gambut yang
merupakan suatu ekosistem yang langka.
MENGAPA LAHAN GAMBUT TERBAKAR?
Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak
terbakar secara alami, kecuali pada tahuntahun
yang luar biasa keringnya. Hal ini
ditunjukkan secara tragis selama terjadinya
perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa
gambut disemprot oleh bahan-bahan kimia dan
dibakar oleh bom napalm. Kebakarankebakaran
yang terjadi kemudian di’tahan’ oleh
rawa-rawa gambut alami yang basah.
Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat
sulit digunakan untuk usaha pertanian skala
besar, namun semakin banyak kawasankawasan
gambut yang dibalak dan dikeringkan.
Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di
kawasan-kawasan tersebut digali kanal-kanal
untuk mengeringkannya, menyediakan akses
untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan
bagi usaha-usaha pertanian. Langkah pertama
ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya
permukaan air tanah dan menghilangkan air di
permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahanlahan
pertanian sekitarnya juga dapat
menyebabkan turunnya permukaan air tanah.
Setelah kering, maka gambut akan kehilangan
sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan
dengan demikian juga kemampuannya untuk
mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan
gambut yang kering secara tidak alami sangat
mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang
disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan
kerusakan dan kerugian yang proporsional
terhadap kegiatan manusia dan tingkat
gangguan yang terjadi.
Kanal-kanal yang digali memberikan akses
terhadap kawasan-kawasan gambut yang dulu
tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia
memungkinkan terjadinya kebakaran dan
kegiatan pembalakan, yang akan mengganggu
keseimbangan alami dari ekosistem rawagambut.
Beberapa kegiatan-kegiatan
tradisional, seperti sistem budidaya padi sonor
(dimana padi ditanam di lahan-lahan gambut
yang sengaja dibakar pada musim kemarau)
dan penangkapan ikan (dimana para nelayan
menggunakan api untuk menciptakan akses
yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan)
juga merupakan sumber kebakaran di
kawasan-kawasan gambut. Sehubungan
dengan hal ini, risiko kebakaran gambut adalah
tinggi karena penangkapan ikan dan budidaya
padi sonor sangat penting bagi masyarakat
lokal di tahun-tahun yang kering.

lahan gambut yang terbakar